Minggu, 21 Juli 2013

KURUNGAN TANPA NAMA

Aku menyebutnya kurungan tanpa nama.
Jiwaku terkukung dalam jamban yang terlihat bersih dari luar, namun kotor di didalamnya. Kegelapan dan kepengapan hati yang selalu mendera. Bergelayut mesra seolah tak ingin lepas.

Aku menamainya kurungan tanpa nama.
Terlihat indah namun penuh kemunafikan. Ingin berontak, namun keyakinan terlalu lemah. Meronta dalam batin, hingga yang tersisa hanya rasa sesak. Hampa.

Aku memanggilnya kurungan tanpa nama. Sejenis borgol yang membuatku susah lepas. Sejenis sabu-sabu yang membuatku lepas kendali, namun tak mampu pergi. Aku si jiwa tanpa nyawa yang mengharap satu asa. Segera terlepas dari jeruji besi, lalu menghilang tak kembali.

Jeruji kenistaan yang menggerogoti jiwaku. Mampukah aku melawan? Sedangkan Mereka hanya sebagai penonton, tak bisa berbuat apa-apa. Aku yang teraniaya, hanya bisa tergolek lemah. Menanti detik-detik sang malaikat datang mencabut nyawa.

Hina sekali diriku... :'(

Kamis, 18 Juli 2013

PRAKATA

Bismillahirromanirohim..
Saya masih dalam tahap belajar. Belajar dalam menulis, merangkai kata demi mendapatkan kalimat yang enak dibaca, dan menciptakan jiwa dalam setiap tulisan saya. Saya masih perlu banyak bantuan, bimbingan, dan petunjuk dalam membuat karya-karya saya. Jika ada kata yang kurang pantas atau kesalahan dalam penulisan, saya meminta maaf. Saya masih dalam tahap belajar. Salam sayang Michelia deska.. :*                                         

MARRIED..? OH NO..!







Menikah...?! oh,No...!
Tidak adakah kalimat lain yang bisa ku dengar di rumah ini?Papa, Mama, dan keluarga besarku selalu mempertanyakannya. Usiaku masih 25 tahun. Kenapa kalian memandangku seperti gadis tua yang tak laku? Lama-lama aku pobhia dengan kata ‘menikah’.
Namaku Vora. Usiaku 25 tahun. Aku masih singel, tentunya. Aku lebih suka menyendiri. Bukan berarti aku pendiam. Aku termasuk tipe gadis yang energik. Tak sedikit teman pria di kantor  yang mendekatiku. Jadi jangan pernah bilang kalo aku ini ‘gadis tua yang tak laku’.
Aku tidak pernah merespon perhatian yang diberikan oleh teman pria di kantorku. Karna kupikir tidak etis jika menjalin cinta masih dalam kantor yang sama, akan mengganggu kinerja dalam bekerja. Akhirnya mereka mundur teratur. Untunglah sikap mereka tidak berubah padaku. Masih tetap hangat.
Tau kah kalian aku sangat membenci yang namanya pertemuan keluarga. Kumpul bareng bersama sanak keluarga jauh, ngerumpi, ketawa-ketiwi, dan dan membicarakan hal yang tidak penting. Aku benci jika mereka menanyakan mana pacarmu Vor? Kenapa belum punya pacar? Kapan kamu NIKAH biar bisa nyusul si A, si B? memangnya menikah itu seperti lomba lari, pake susul-susulan. Ujung-ujungnya tante Nania akan berceloteh: “ Masa’ kamu kalah sama si C yang masih SMP? Dia aja sudah punya pacar, masa kamu belom?”. Semua pandangan langsung tertuju kepadaku, tawa terdengar menggema di ruangan itu. Aku merasa tiba-tiba tubuhku mengecil. Oh Pliss deh tanteku yang cerewet... jangan bahas-bahas itu di depan mereka, pekikku dalam hati. Tuhan selamat akuuu....
Aku kembali ke kamarku dengan wajah tertunduk lesu. Ku kunci rapat-rapat pintu. Ku hempaskan tubuhku ke kasurku yang empuk. Aku menutup kepalaku erat-erat. Dadaku bergemuruh, aku tak tau perasaan apa yang menyentuh dinding hatiku. Malu,tentu. Gengsi, pasti. Marah, semuanya bercampur aduk. Yang lebih mengoyak harga diriku adalah mereka membandingkan aku  dengan keponakanku yang masih SMP. Mataku mulai panas. Pertahananku jebol, air itu deras mengalir tak bisa terbendung lagi. Malam itu, Aku menangis sejadi-jadinya. Bukan menangisi statusku yang singel. Tapi sikap keluargaku yang menjudgeku sebagai ‘gadis tua yang tak laku’.
Paginya, ketika aku memasuki kantor, beberapa rekan kerjaku menatap dengan pandangan bertanya-tanya, dan sebagian lagi cuek karena sibuk dengan pekerjaannya. Pagi ini aku memang beda dari biasanya. Aku menggunakan kacamata hitam. Aku menyembunyikan sembab akibat menangis semalam. Kalau tidak memakai kacamata, bisa-bisa seluruh staff kantor tau kalau mataku sembab. Mereka pasti akan menertawaiku.
Kerin langsung menghampiri mejaku.
“Lagi sakit mata ya Non?” tanyanya sambil mesam-mesem.
Aku pura-pura sibuk membereskan beberapa berkas yang sedikit berantakan di mejaku serta menghidupkan komputerku. Aku tau dia hanya berusaha meledekku. Kerin adalah sahabatku. Ia mengenalku dengan baik. Di SMA kami selalu sekelas. Hanya bedanya ia lebih beruntung. Setelah menamatkan studinya, Adam, lelaki yang sudah menjadi kekasih Kerin selama 8 tahun itu langsung melamarnya.
            Kerin mencoba melihat mataku dari balik kacamata hitam yang kupakai. Kalau dari jauh mungkin tidak akan kentara kalau mataku sembab, efek dari peristiwa tadi malam. Tapi kalau di perhatikan dari dekat pasti akan ketahuan juga. Tawanya langsung meledak. Beberapa pasang mata langsung menoleh ke arah kami.
            Hushstt.... aku memberi isyarat pada Kerin untuk mengecilkan suaranya. Kerin langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia pasti tidak sadar bahwa tertawanya itu mengundang perhatian staff lain.
            “Keluargamu menyuruhmu untuk cepat-cepat menikah lagi ya...?” tanyanya dengan volume suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Maklum, di kantor memang ada aturan dilarang untuk mendiskusikan hal-hal yang tidak penting kecuali masalah pekerjaan. Aku hanya mangangguk lemah. Hari ini aku benar-benar tidak ingin melakukan apapun. Ouhh ...
            “Kamu sih pilih-pilih!” celetuknya. Segera ku jitak kepalanya. Ouch.. ia meringis kesakitan. “ iya maaf aku salah ngomong!” ujarnya sambil mengelus-elus bagian kepalanya yang kujitak.
“ Temennya lagi kesusahan bukannya di bantuin malah dikata-katain.” Gerutuku
Kerin tertawa cekikikan. “ Suruh siapa gak nikah-nikah!” kerin menjulurkan lidahnya seraya berlari ke mejanya. Sikap Kerin menyebalkan hari ini. Apa gunanya menikah kalau sikapnya masih tidak seperti itu? Sungguh kekanak-kanakan. Kufokuskan lagi perhatianku pada layar komputerku.

            Hari itu telah tiba.
Ruangan itu tampak indah bernuansa putih, disekelilingnya dihiasi oleh mawar putih yang cantik. Aku mengenakan gaun putih nan elegan. Terdapat hiasan bunga mawar dan batu berlian di bagian dada. Gaun itu membalut tubuhku dengan indah. Aku terlihat seperti puteri dalam cerita Barbie. Mama dan Papa tampak tertawa bahagia. Begitu juga dengan keluarga besarku, terutama tanteku yang cerewet itu. Siapa lagi kalo bukan tante Nania. Ia tampak sibuk menyambut tamu undangan. Senyumnya sumringah. Beberapa keponakan ku tampak main kejar-kejaran.
Beberapa rekan kerjaku juga tampak hadir di sana. Kerin dan suaminya juga hadir memberiku ucapan selamat. Tuhan, hari ini benar-benar yang aku tunggu. Semuanya tampak berbahagia. Tak ada raut kesedihan di wajah orang-orang yang kusayangi. jika ada mesin penghenti waktu, aku ingin selamanya ada di waktu ini. Tanpa terasa air mataku meleleh. Aku benar-benar bahagia.
“ Vora. bangunlah sayang! “ suara itu terdengar berat dan bergetar. Wanita separo baya itu menggenggam tangan gadis yang terbaring di ranjang dengan selang infus yang tertancap di tangannya. Air matanya tak berhenti mengalir. Beberapa mesin ‘penyangga’ hidup gadis itu tampak hidup dan menunjukkan ritme-ritme kehidupan. “Mama selalu mendoakan yang terbaik untukmu, sayang. Kami tidak akan memaksakan kehendak kami lagi. Tapi Mama minta kamu bangun.” Tangisnya semakin menjadi, hatinya mencelos melihat anaknya yang terbaring tanpa tahu kapan ia akan bangun dari komanya. Dibelakangnya berdiri suaminya yang berusaha menguatkannya. Memeluknya dengan hangat, mencoba menenangkannya.
Gadis yang terbaring di ranjang pesakitan itu memang Vora. Vora yang merasa dirinya workerholic sampai-sampai ia lupa untuk memikirkan urusan asmaranya. Gadis yang terlihat kuat diluar, namun penuh kerapuhan. ‘Si gadis tua yang tak laku’ menurut pemikirannya. Bukan pemikiran Tantenya ataupun keluarganya.
Flashback*
“Tidak Ma!” teriak Vora.
“Tapi sayang, rencana pernikahan ini sudah Mama dan Papa rencanakan sudah lama. Kami sengaja tidak memberitahumu karna kami pikir kamu terlalu asyik dengan pekerjaanmu sekarang, sehingga hampir tidak pernah melirik lelaki manapun. Yang kamu perhatikan hanyalah berkas-berkas perusahaanmu saja. “ papar Mama Vora.
“Vora tidak mau dijodohkan Ma,Pa!”
“ Dia lelaki baik Vora. Anaknya temennya Papa dan Mama. Namanya Narendra Pradiptyo. Apakah kamu tidak mau bertemu dengan dia dulu? Baru kamu putuskan, mau dilanjutkan atau tidak.” Kata Papa lebih bijaksana.
“Tidak-Pa. Vora tetap tidak mau. Mendengar namanya saja Vora sudah bisa membayangkan bagaimana orangnya. Pasti Jelek, culun, dan Bau! Dan kemana-mana membawa blangkon dan tongkat.”
Mendengar perkataan Vora, Mama dan Papa tertawa cekikikan. Hal ini membuat Vora semakin sebal.
“ Kalo Mama dan Papa masih tetap pada keputusan kalian untuk menjodohkan Vora dengan laki-laki itu, lebih baik Vora pergi selama-lamanya dari rumah ini!“ ancam Vora. Sebenarnya ada rasa penyesalan di dalam hatinya ketika mengeluarkan kata-kata bernada ancaman itu pada kedua orangtuanya. Tapi egonya lebih besar dan mengalahkan akal sehatnya.
Mama dan papa hanya tersenyum menanggapi ancaman Vora. Mereka tau ucapan Vora barusan hanyalah gertakan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Vora kesal melihat gelagat orang tuanya yang biasa-biasa saja itu.  Karna tidak mendapatkan respon dari orangtuanya, Vora akhirnya nekat untuk melaksanakan ancamannya itu.
Segera Vora mengambil kunci mobil dan  meraih jaketnya. Dengan emosi ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman rumahnya. mama dan papanya hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah kekanakan anak semata wayangnya itu. Mereka yakin, setelah emosinya reda, Vora pasti akan kembali lagi kerumah. Sama seperti kejadian beberapa tahun yang lalu. Vora ngambek minta dibelikan tiket nonton group asal holiwood “One Direction”, tapi mereka tidak menurutinya. Alhasil, Vora kabur dari rumah. Seharian sopirnya mencari ke tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, tapi tidak ditemukan. Rupanya ia menginap di rumah Kerin. Keesokan harinya, Vora kembali ke rumah dan meminta maaf atas sikapnya yang kekanak-kanakan.
Kejadian itu terulang kembali. Kali ini Vora hilang kendali, dan pergi meninggalkan rumah karna egonya yang tinggi. Nasib seseorang tidak ada yang tahu. Kali ini kejadiannya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ucapan vora benar-benar terbukti. Kecelakaan mobil itu membuatnya koma selama dua minggu. Luka dibagian luar memang tidak parah. Hanya lecet ringan. Benturan keras dikepalanya yang membuatnya tak sadarkan diri. Operasi sudah dilakukan, dokter yang menangani Vora juga sudah melakukan usahanya yang terbaik.
Kecelakaan itu tidak hanya mencelakai Vora, pengemudi lain juga tidak jauh beda dengan Vora. Hanya saja, Vora lebih beruntung. Jiwanya masih diberikan nafas oleh Tuhan. Meskipun raganya tak lagi memiliki kekuatan. Lelaki itu tak tertolong. Baru beberapa jam setelah operasi, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Flashback end*
Aku menatap pada kilauan benda asing itu. Semakin dekat cahayanya mengilang, digantikan sosok lelaki yang tidak aku kenal.  Ia memakai baju serba putih, serasi dengan gaun yang aku pakai saat ini. Ia begitu tampan. Ia seperti pangeran dari negeri dongeng. Kakiku lemah dibuatnya. Ia berjalan mendekatiku sambil mengulurkan tangannya padaku. Senyumnya begitu manis. Apakah dia mempelai pria yang diturunkan Tuhan padaku? Aku tersenyum seraya menyambut uluran tangannya. Untunglah aku menolak perjodohan konyol itu, dan menemukan pangeran sebenarnya, pikirku. Ia mengajakku berdansa tanpa musik. Hanya ketukan sepatu kami yang terdengar.
Perasaan bahagia menyeruak dari dasar hatiku. Apakah seperti ini yang namanya jatuh cinta? Yang kurasakan hanya bahagia. Tidak ada yang lain. Tuhan kenapa baru sekarang kau anugerahkan rasa ini kepadaku? Kalau aku tau rasanya seperti ini, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku begitu senang berada bersamanya. Pangeranku.
“Siapa namamu?” bisiknya padaku.
“ Ivorane Prayoga” jawabku seraya tersipu malu-malu” Nama kamu?
“ NARENDRA PRADIPTYO”
“.....”
Mataku terbelalak mendengar ia menyebutkan namanya..aku tidak bisa mengucapkan satu katapun. Lidahku kelu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Benarkah lelaki itu Narendra? Lelaki pilihan orang tuaku? Tiba-tiba pandanganku buram. Aku terkulai lemah.

THE END