Selasa, 24 Juni 2014

GARNETA: GIVE ME LOVE!


Part 1

“Aku menyukaimu. Maukah kau jadi pacarku?”
“....”
“....”
“Maaf, aku tidak bisa Garneta!”
(gubrakkk... lagi-lagi ditolak! duniaku berputar lebih cepat dan aku seperti tersedot dalam lubang kepedihan yang gelap dan pekat, siapapun tolong akuuu....!)

Kata-kata itu masih ku ingat sampai sekarang. Untuk kesekian kalinya aku ditolak oleh pria. Nasibku memang tidak sebaik Kak Renata. Kakakku yang memang notabene lebih cantik dariku, begitu mudahnya mendapatkan pria yang ia suka. Bahkan Kak Renata tidak perlu mengutarakan perasaannya terlebih dahulu pada pria-pria yang dia sukai seperti yang kulakukan. Karena perasaan Kak Renata tidak pernah bertepuk sebelah tangan. Oh Tuhan, Kenapa kau tidak mengundangku saat pembagian wajah cantik? aku pasti akan rela mengantri meski diantrian nomor terkahir. (T_T nangis sambil guling-guling)

Apa mungkin wajahku kurang menarik? Aku menatap bayanganku di dalam cermin. Tidak ada yang salah dengan wajahku. Aku juga terlalu jelek. Hidungku tidak sepesek Rina nose. Pipiku juga tidak tembem seperti bakpau. Mataku bulat, kalau senyum membentuk bulan sabit. Gigiku juga putih dan rapih. Tinggi dan berat badanku termasuk kategori proporsional. Ya, meskipun tidak setinggi kak Renata yang memiliki tubuh bak Model profesional. Yang pasti wajah dan tubuhku masih orisinil, belum dijamah oleh peralatan kecantikan apapun. Tapi kenapa mereka menolak cintaku???

“Sayang... Keluarga Damian sudah datang. Ayo cepat keluar!” itu suara Mamaku yang cerewet. Oh, nasib burukku datang lagi. Damian, cowok superkeren yang diperkenalkan saat makan malam keluarga Dinata dan Guntoro sebulan lalu. Aku pasti akan jatuh cinta padanya. Lalu dia akan menolakku seperti lelaki lain. Oo, poor girl. Pria tampan memang kejam. Tapi entah kenapa aku selalu terpesona oleh ketampanan mereka.. huhuu ini seperti kutukan bagiku.
Aku merapikan gaun pink yang ku kenakan. Aku mengeluarkan jurus ampuh penghilang rasa grogi. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Meskipun efeknya tidak lama, namun aku selalu mempraktekkannya.
***

Aku berada di ruang tamu. Membisu tanpa sepatah katapun. Orangtuaku tampak asyik mengobrol dengan keluarga Guntoro. Entah apa yang mereka bicarakan, akupun tidak terlalu tertarik dengan obrolan mereka. Aku lebih tertarik menatap wajah superkeren yang duduk tidak jauh dari tempatku duduk. Wajahnya supertampan. Kemeja dongker yang ia kenakan begitu pas membentuk badannya yang bidang, hampir membuatku mimisan.
Tapi sayang, pria itu tak menghiraukan keadaan di sekitarnya. Terlalu fokus dengan gadget ditangannya. Sedikit menguntungkanku, aku jadi lebih puas memandanginya.
“Selamat sore...” Suara lembut itu bak dentingan mozart yang menenangkan seketika membuyarkan fantasiku.
Semua pandangan tertuju pada pemilik suara, kecuali aku. Karna aku tau siapa pemilik suara itu. Yup, Kakaku yang selalu lebih unggul dariku, Renata Alwi Dinata .
“Renata, kemari sayang! Perkenalkan ini Om Guntoro. Dan ini anaknya Om Guntoro, namanya Damian Fready Guntoro.” Mamaku langsung memperkenalkan Kak Renata pada Keluarga Guntoro. Kak Renata menyalami Om Guntoro dan Damian. Perasaan tidak suka langsung menyerangku, saat Damian begitu intens menatap Kak Renata. Tidak seperti waktu Kak Renata belum datang, lelaki itu lebih tertarik dengan gadgetnya daripada menatapku. Jangankan menatap, melirikpun tidak!!! Aaarrggh... Menyebalkan.

***
Aku menatap rerumputan yang basah karena hujan semalam dari balik terali jendela kamar. Begitu hijau dan tampak segar. Seolah-olah mengejekku atas kemuraman wajahku yang tak dapat kututupi dari siapapun. Andai aku memegang gunting rumput saat ini, aku akan memotong mereka sampai habis, takkan kusisakan walau sejumput.

Aku menarik nafas panjang. Menghirup udara pagi yang begitu sejuk. Memenuhi rongga paru-paruku dengan pasokan oksigen. Ah, Segaarrnyaa....

Tiba-tiba saja wajah Damian melintas dalam benakku. Sedang apakah Damian kalau pagi-pagi begini? Apakah ia sudah bangun? atau ia masih tertidur pulas dalam selimut tebal dengan bertelanjang dada sambil mendengkur? Fantasi liar tentang Damian berkelebat dalam pikiranku.

Mendengkur? Hei, apa yang kupikirkan. Mana mungkin pria superkeren seperti Damian tidur mendengkur. Damian itu terlalu manis untuk tidur mendengkur, gumamku dalam hati dengan seulas senyum. Senyum khas yang selalu ku keluarkan bila aku sedang berfantasi tentang pria idamanku.

Apa yang tidak mungkin? Kau saja yang cantik selalu tidur mendengkur! Sela kata hatiku yang lain. Aku membenarkan kata hatiku yang satu ini.
Semua orang berpotensi tidur mendengkur, tidak terkecuali Damian. Kau saja yang terlalu naif, menganggap Damian lelaki sempurna tanpa cela.  Dia itu juga manusia, sama sepertimu. Bukankah kau juga terlihat sempurna, lalu kenapa kau selalu ditolak oleh pria yang kau sukai? Bisik kata hatiku.
Aku sempat tersinggung dengan ucapan hatiku sendiri yang menyinggung tentang nasibku yang tak terlalu beruntung dalam hal asmara, tapi tidak bisa dipungkiri pernyataan itu tak salah.

Arrgh... aku mengacak rambutku frustasi. Pagi-pagi sudah dibuat stress oleh pikiranku sendiri. Damian, pria itu benar-benar bencana bagiku. Bencana terindah.

***
Malam hari..
Kulihat Kak Renata berjalan melintasi kamarku saat aku hendak keluar. Ia mengenakan gaun berwarna marun, gaun itu tidak oernah ku lihat sebelumnya. Ia juga mengenakan polesan make up yang cukup tebal. Aku bersiul menggodanya.
Dia membalikkan badannya.
“Ya Ampun, Garneta. Buat kaget aja, kakak kira ada preman terminal masuk ke rumah ini.” Ia terkikik.
Aku memberengut kesal mendengar ucapannya.
Hihihi.. AKu menirukan gaya cekikikannya Kak Renata.” Mau kemana sih kak? Kencan ya? Loh bukannya kakak udah putus sama Kak Rai? Balikan lagi ya? Ciee ciee..” Pertanyaan itu meluncur mulus dari bibir mungilku.
 “Ih, mau tau aja. Urusan orang gede. Anak kecil gak boleh tau.”
“umm.. Tunggu. Kalo dilihat dari dandanan kakak yang supermenor ini, aku menyangsikan kakak balikan lagi sama kak Rai.” Ujarku berlagak ala detektive.” Ooh... Jangan-jangan kakak mau kencan sama Om-om ya..” tudingku.
Kak Renata melotot, tampaknya ia kesal dengan ucapanku.”Garnetaa.....!!!”
Sebelum ia melampiaskan kemarahannya, aku buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintu lalu menguncinya agar kak Renata tidak dapat masuk. Dari dalam aku masih bisa mendengar teriakan kak Renata yang memaki-makiku. Tapi tidak sampai dengan kata-kata kotor. Kami cukup terhormat untuk mengucapkan kata-kata kotor yang nantinya akan mencemari mulut kami yang bebas dari kuman ini. Terkecuali fantasi jorok yang menari-nari di benakku saat membayangkan lelaki tampan. J aku benar-benar belum bisa mengendalikannya...
***
Mataku masih belum bisa terpejam. Biasanya aku selalu tidur di bawah jam sepuluh malam. AKu tidak bisa membayangkan besok aku akan tertidur saat perkuliahan dengan Prof Jaka Wurianto, Dosen ekonomi  yang membuatku nyaris menguap ketika mengikuti  matakuliahnya. Caranya mengajar begitu monoton dan membosankan. Kukira semua mahasiswa yang pernah ia ajar akan menyetujui ucapanku...

Samar-sama aku mendengar suara deru mobil di depan rumah. Itu pasti Kak Renata. AKu terkikik saat mengingat kejadian sesaat sebelum kak Renata pergi. Aku menajamkan pendengaranku. Deru mobil itu tidak ada lagi, digantikan suara tawa kak Renata dan seseorang. Pasti mereka tidak sadar kalau tawa mereka itu bisa membangunkan tetangga sebelah.

Rasa penasaranku muncul. Siapa sih teman kencan kak renata? AKu beringsut dari ranjangku, melangkah menuju balkon.
Aku terkejut saat melihat Damian sedang berdiri di samping mobil sport berwarna merah bersama kak Renata.
Dadaku bergemuruh, jantungku berdegup kencang seolah hendak melompat dari tempatnya.
Ternyata Kak Renata bukan kencan dengan Om-om, tapi dia kencan dengan Damian. Oh,, tidak! Aku benar-benar tidak rela mereka kencan, apalagi sampai jadian.
Aku masih belum beranjak dari tempatku. Mataku terbelalak saat melihat wajah Kak Damian perlahan-lahan mendekat ke wajah kak Renata. Biasanya kalau di drama romantis yang pernah aku tonton, jika seorang pria mendekatkan wajahnya ke wajah wanita, itu artinya mereka akan ber*kiss*an.
“Jaaangaaannn.....!”
Pekikku dengan suara melengking diudara. Teriakan itu keluar tanpa aku sadari.
Ku lihat kak Damian dan Kak Renata menatapku dengan pandangan tak percaya. Aku tak tau apa yang mereka pikirkan dengan tindakan bodohku barusan. Tapi hatiku sedikit lega, setidaknya kak Damian tidak jadi mencium kak Renata. Misiku berhasil, meski tanpa sengaja. Aku tersenyum puas.
“Neta, Apa yang kamu lakukan di situ?” tanya kak Renata sewot.”Kamu ngintip ya!”
“ Yee, sapa bilang. Kebetulan Neta sudah ada di sini dari tadi. Kalian aja yang tidak nyadar. Seharusnya Neta yang tanya sama kakak, nagapain berduaan dengan Kak Damian?”
“Anak kecil mau tau aja. Masuk sana!”
Aku menjulurkan lidahku. “Oh, jadi om-om yang tadi ngajak kencan kakak itu ternyata kak Damian toh?”
Ejekku.
Kulihat ekspresi wajah kak Damian berubah. Mungkin karena aku bilang Om-om kali ya, haha... Bodo amat deh. Yang penting aku puas bales rasa sakit hati aku sama mereka.
“Om Damian, kapan-kapan kita jalan yuk. Masa jalannya cuma sama tante-tante doang sih.” aku terkekeh melihat ekpresi mereka berdua. Puas sekaligus bahagia. Aku benar-benar puas jahilin mereka malam ini. Aku rasa tidurku akan nyenyak nanti malam. J
To be continue....
Copyright© 2014

Minggu, 21 Juli 2013

KURUNGAN TANPA NAMA

Aku menyebutnya kurungan tanpa nama.
Jiwaku terkukung dalam jamban yang terlihat bersih dari luar, namun kotor di didalamnya. Kegelapan dan kepengapan hati yang selalu mendera. Bergelayut mesra seolah tak ingin lepas.

Aku menamainya kurungan tanpa nama.
Terlihat indah namun penuh kemunafikan. Ingin berontak, namun keyakinan terlalu lemah. Meronta dalam batin, hingga yang tersisa hanya rasa sesak. Hampa.

Aku memanggilnya kurungan tanpa nama. Sejenis borgol yang membuatku susah lepas. Sejenis sabu-sabu yang membuatku lepas kendali, namun tak mampu pergi. Aku si jiwa tanpa nyawa yang mengharap satu asa. Segera terlepas dari jeruji besi, lalu menghilang tak kembali.

Jeruji kenistaan yang menggerogoti jiwaku. Mampukah aku melawan? Sedangkan Mereka hanya sebagai penonton, tak bisa berbuat apa-apa. Aku yang teraniaya, hanya bisa tergolek lemah. Menanti detik-detik sang malaikat datang mencabut nyawa.

Hina sekali diriku... :'(

Kamis, 18 Juli 2013

PRAKATA

Bismillahirromanirohim..
Saya masih dalam tahap belajar. Belajar dalam menulis, merangkai kata demi mendapatkan kalimat yang enak dibaca, dan menciptakan jiwa dalam setiap tulisan saya. Saya masih perlu banyak bantuan, bimbingan, dan petunjuk dalam membuat karya-karya saya. Jika ada kata yang kurang pantas atau kesalahan dalam penulisan, saya meminta maaf. Saya masih dalam tahap belajar. Salam sayang Michelia deska.. :*                                         

MARRIED..? OH NO..!







Menikah...?! oh,No...!
Tidak adakah kalimat lain yang bisa ku dengar di rumah ini?Papa, Mama, dan keluarga besarku selalu mempertanyakannya. Usiaku masih 25 tahun. Kenapa kalian memandangku seperti gadis tua yang tak laku? Lama-lama aku pobhia dengan kata ‘menikah’.
Namaku Vora. Usiaku 25 tahun. Aku masih singel, tentunya. Aku lebih suka menyendiri. Bukan berarti aku pendiam. Aku termasuk tipe gadis yang energik. Tak sedikit teman pria di kantor  yang mendekatiku. Jadi jangan pernah bilang kalo aku ini ‘gadis tua yang tak laku’.
Aku tidak pernah merespon perhatian yang diberikan oleh teman pria di kantorku. Karna kupikir tidak etis jika menjalin cinta masih dalam kantor yang sama, akan mengganggu kinerja dalam bekerja. Akhirnya mereka mundur teratur. Untunglah sikap mereka tidak berubah padaku. Masih tetap hangat.
Tau kah kalian aku sangat membenci yang namanya pertemuan keluarga. Kumpul bareng bersama sanak keluarga jauh, ngerumpi, ketawa-ketiwi, dan dan membicarakan hal yang tidak penting. Aku benci jika mereka menanyakan mana pacarmu Vor? Kenapa belum punya pacar? Kapan kamu NIKAH biar bisa nyusul si A, si B? memangnya menikah itu seperti lomba lari, pake susul-susulan. Ujung-ujungnya tante Nania akan berceloteh: “ Masa’ kamu kalah sama si C yang masih SMP? Dia aja sudah punya pacar, masa kamu belom?”. Semua pandangan langsung tertuju kepadaku, tawa terdengar menggema di ruangan itu. Aku merasa tiba-tiba tubuhku mengecil. Oh Pliss deh tanteku yang cerewet... jangan bahas-bahas itu di depan mereka, pekikku dalam hati. Tuhan selamat akuuu....
Aku kembali ke kamarku dengan wajah tertunduk lesu. Ku kunci rapat-rapat pintu. Ku hempaskan tubuhku ke kasurku yang empuk. Aku menutup kepalaku erat-erat. Dadaku bergemuruh, aku tak tau perasaan apa yang menyentuh dinding hatiku. Malu,tentu. Gengsi, pasti. Marah, semuanya bercampur aduk. Yang lebih mengoyak harga diriku adalah mereka membandingkan aku  dengan keponakanku yang masih SMP. Mataku mulai panas. Pertahananku jebol, air itu deras mengalir tak bisa terbendung lagi. Malam itu, Aku menangis sejadi-jadinya. Bukan menangisi statusku yang singel. Tapi sikap keluargaku yang menjudgeku sebagai ‘gadis tua yang tak laku’.
Paginya, ketika aku memasuki kantor, beberapa rekan kerjaku menatap dengan pandangan bertanya-tanya, dan sebagian lagi cuek karena sibuk dengan pekerjaannya. Pagi ini aku memang beda dari biasanya. Aku menggunakan kacamata hitam. Aku menyembunyikan sembab akibat menangis semalam. Kalau tidak memakai kacamata, bisa-bisa seluruh staff kantor tau kalau mataku sembab. Mereka pasti akan menertawaiku.
Kerin langsung menghampiri mejaku.
“Lagi sakit mata ya Non?” tanyanya sambil mesam-mesem.
Aku pura-pura sibuk membereskan beberapa berkas yang sedikit berantakan di mejaku serta menghidupkan komputerku. Aku tau dia hanya berusaha meledekku. Kerin adalah sahabatku. Ia mengenalku dengan baik. Di SMA kami selalu sekelas. Hanya bedanya ia lebih beruntung. Setelah menamatkan studinya, Adam, lelaki yang sudah menjadi kekasih Kerin selama 8 tahun itu langsung melamarnya.
            Kerin mencoba melihat mataku dari balik kacamata hitam yang kupakai. Kalau dari jauh mungkin tidak akan kentara kalau mataku sembab, efek dari peristiwa tadi malam. Tapi kalau di perhatikan dari dekat pasti akan ketahuan juga. Tawanya langsung meledak. Beberapa pasang mata langsung menoleh ke arah kami.
            Hushstt.... aku memberi isyarat pada Kerin untuk mengecilkan suaranya. Kerin langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia pasti tidak sadar bahwa tertawanya itu mengundang perhatian staff lain.
            “Keluargamu menyuruhmu untuk cepat-cepat menikah lagi ya...?” tanyanya dengan volume suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Maklum, di kantor memang ada aturan dilarang untuk mendiskusikan hal-hal yang tidak penting kecuali masalah pekerjaan. Aku hanya mangangguk lemah. Hari ini aku benar-benar tidak ingin melakukan apapun. Ouhh ...
            “Kamu sih pilih-pilih!” celetuknya. Segera ku jitak kepalanya. Ouch.. ia meringis kesakitan. “ iya maaf aku salah ngomong!” ujarnya sambil mengelus-elus bagian kepalanya yang kujitak.
“ Temennya lagi kesusahan bukannya di bantuin malah dikata-katain.” Gerutuku
Kerin tertawa cekikikan. “ Suruh siapa gak nikah-nikah!” kerin menjulurkan lidahnya seraya berlari ke mejanya. Sikap Kerin menyebalkan hari ini. Apa gunanya menikah kalau sikapnya masih tidak seperti itu? Sungguh kekanak-kanakan. Kufokuskan lagi perhatianku pada layar komputerku.

            Hari itu telah tiba.
Ruangan itu tampak indah bernuansa putih, disekelilingnya dihiasi oleh mawar putih yang cantik. Aku mengenakan gaun putih nan elegan. Terdapat hiasan bunga mawar dan batu berlian di bagian dada. Gaun itu membalut tubuhku dengan indah. Aku terlihat seperti puteri dalam cerita Barbie. Mama dan Papa tampak tertawa bahagia. Begitu juga dengan keluarga besarku, terutama tanteku yang cerewet itu. Siapa lagi kalo bukan tante Nania. Ia tampak sibuk menyambut tamu undangan. Senyumnya sumringah. Beberapa keponakan ku tampak main kejar-kejaran.
Beberapa rekan kerjaku juga tampak hadir di sana. Kerin dan suaminya juga hadir memberiku ucapan selamat. Tuhan, hari ini benar-benar yang aku tunggu. Semuanya tampak berbahagia. Tak ada raut kesedihan di wajah orang-orang yang kusayangi. jika ada mesin penghenti waktu, aku ingin selamanya ada di waktu ini. Tanpa terasa air mataku meleleh. Aku benar-benar bahagia.
“ Vora. bangunlah sayang! “ suara itu terdengar berat dan bergetar. Wanita separo baya itu menggenggam tangan gadis yang terbaring di ranjang dengan selang infus yang tertancap di tangannya. Air matanya tak berhenti mengalir. Beberapa mesin ‘penyangga’ hidup gadis itu tampak hidup dan menunjukkan ritme-ritme kehidupan. “Mama selalu mendoakan yang terbaik untukmu, sayang. Kami tidak akan memaksakan kehendak kami lagi. Tapi Mama minta kamu bangun.” Tangisnya semakin menjadi, hatinya mencelos melihat anaknya yang terbaring tanpa tahu kapan ia akan bangun dari komanya. Dibelakangnya berdiri suaminya yang berusaha menguatkannya. Memeluknya dengan hangat, mencoba menenangkannya.
Gadis yang terbaring di ranjang pesakitan itu memang Vora. Vora yang merasa dirinya workerholic sampai-sampai ia lupa untuk memikirkan urusan asmaranya. Gadis yang terlihat kuat diluar, namun penuh kerapuhan. ‘Si gadis tua yang tak laku’ menurut pemikirannya. Bukan pemikiran Tantenya ataupun keluarganya.
Flashback*
“Tidak Ma!” teriak Vora.
“Tapi sayang, rencana pernikahan ini sudah Mama dan Papa rencanakan sudah lama. Kami sengaja tidak memberitahumu karna kami pikir kamu terlalu asyik dengan pekerjaanmu sekarang, sehingga hampir tidak pernah melirik lelaki manapun. Yang kamu perhatikan hanyalah berkas-berkas perusahaanmu saja. “ papar Mama Vora.
“Vora tidak mau dijodohkan Ma,Pa!”
“ Dia lelaki baik Vora. Anaknya temennya Papa dan Mama. Namanya Narendra Pradiptyo. Apakah kamu tidak mau bertemu dengan dia dulu? Baru kamu putuskan, mau dilanjutkan atau tidak.” Kata Papa lebih bijaksana.
“Tidak-Pa. Vora tetap tidak mau. Mendengar namanya saja Vora sudah bisa membayangkan bagaimana orangnya. Pasti Jelek, culun, dan Bau! Dan kemana-mana membawa blangkon dan tongkat.”
Mendengar perkataan Vora, Mama dan Papa tertawa cekikikan. Hal ini membuat Vora semakin sebal.
“ Kalo Mama dan Papa masih tetap pada keputusan kalian untuk menjodohkan Vora dengan laki-laki itu, lebih baik Vora pergi selama-lamanya dari rumah ini!“ ancam Vora. Sebenarnya ada rasa penyesalan di dalam hatinya ketika mengeluarkan kata-kata bernada ancaman itu pada kedua orangtuanya. Tapi egonya lebih besar dan mengalahkan akal sehatnya.
Mama dan papa hanya tersenyum menanggapi ancaman Vora. Mereka tau ucapan Vora barusan hanyalah gertakan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Vora kesal melihat gelagat orang tuanya yang biasa-biasa saja itu.  Karna tidak mendapatkan respon dari orangtuanya, Vora akhirnya nekat untuk melaksanakan ancamannya itu.
Segera Vora mengambil kunci mobil dan  meraih jaketnya. Dengan emosi ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman rumahnya. mama dan papanya hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah kekanakan anak semata wayangnya itu. Mereka yakin, setelah emosinya reda, Vora pasti akan kembali lagi kerumah. Sama seperti kejadian beberapa tahun yang lalu. Vora ngambek minta dibelikan tiket nonton group asal holiwood “One Direction”, tapi mereka tidak menurutinya. Alhasil, Vora kabur dari rumah. Seharian sopirnya mencari ke tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, tapi tidak ditemukan. Rupanya ia menginap di rumah Kerin. Keesokan harinya, Vora kembali ke rumah dan meminta maaf atas sikapnya yang kekanak-kanakan.
Kejadian itu terulang kembali. Kali ini Vora hilang kendali, dan pergi meninggalkan rumah karna egonya yang tinggi. Nasib seseorang tidak ada yang tahu. Kali ini kejadiannya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ucapan vora benar-benar terbukti. Kecelakaan mobil itu membuatnya koma selama dua minggu. Luka dibagian luar memang tidak parah. Hanya lecet ringan. Benturan keras dikepalanya yang membuatnya tak sadarkan diri. Operasi sudah dilakukan, dokter yang menangani Vora juga sudah melakukan usahanya yang terbaik.
Kecelakaan itu tidak hanya mencelakai Vora, pengemudi lain juga tidak jauh beda dengan Vora. Hanya saja, Vora lebih beruntung. Jiwanya masih diberikan nafas oleh Tuhan. Meskipun raganya tak lagi memiliki kekuatan. Lelaki itu tak tertolong. Baru beberapa jam setelah operasi, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Flashback end*
Aku menatap pada kilauan benda asing itu. Semakin dekat cahayanya mengilang, digantikan sosok lelaki yang tidak aku kenal.  Ia memakai baju serba putih, serasi dengan gaun yang aku pakai saat ini. Ia begitu tampan. Ia seperti pangeran dari negeri dongeng. Kakiku lemah dibuatnya. Ia berjalan mendekatiku sambil mengulurkan tangannya padaku. Senyumnya begitu manis. Apakah dia mempelai pria yang diturunkan Tuhan padaku? Aku tersenyum seraya menyambut uluran tangannya. Untunglah aku menolak perjodohan konyol itu, dan menemukan pangeran sebenarnya, pikirku. Ia mengajakku berdansa tanpa musik. Hanya ketukan sepatu kami yang terdengar.
Perasaan bahagia menyeruak dari dasar hatiku. Apakah seperti ini yang namanya jatuh cinta? Yang kurasakan hanya bahagia. Tidak ada yang lain. Tuhan kenapa baru sekarang kau anugerahkan rasa ini kepadaku? Kalau aku tau rasanya seperti ini, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku begitu senang berada bersamanya. Pangeranku.
“Siapa namamu?” bisiknya padaku.
“ Ivorane Prayoga” jawabku seraya tersipu malu-malu” Nama kamu?
“ NARENDRA PRADIPTYO”
“.....”
Mataku terbelalak mendengar ia menyebutkan namanya..aku tidak bisa mengucapkan satu katapun. Lidahku kelu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Benarkah lelaki itu Narendra? Lelaki pilihan orang tuaku? Tiba-tiba pandanganku buram. Aku terkulai lemah.

THE END